Haji Nusantara Abad XIX

Haji merupakan Rukun Islam yang kelima. Sebagai salah stau kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap orang yang beragama Islam (yang taat). Haji merupakan rukun Islam dengan perlakuan dan persyaratan khusus. Karena dari 5 (lima) rukun Islam, ibadah haji merupakan satu-satunya rukun Islam yang membutuhkan dana finansial besar bagi umat muslim di Indonesia.
Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan oleh jemaah haji Indonesia merupakan syarat penyerta sebagai akibat jauh dan lamnya jarak yang harus ditempuh para jemaah haji. Sementara ibadah haji sendiri tidak perlu mengeluarkan uang serupiahpun asalkan tidak melakukan larangan saat melakukan ibadah haji karena apabila melanggar dikenakan denda. Namun demikian, justru sisi finansial ini menjadi hal yang selalu melekat dan seoalh-olah sudah menyatu dengan pelaksanaan ibadah haji. Sehingga dalam image orang Indonesia, seorang yang sudah menyandang predikat Haji (bagi laki-laki) atau Hajjah (bagi perempuan) pastilah orang yang kaya secara materi.
Finansial dan ekonomi merupakan faktor persyaratan penting pelaksanaan ibadah haji umat Islam Nusantara. Kondisi ekonomi ini terkait langsung dengan sarana-sarana keuangan yang diperlukan calon jamaah agar bisa melaksanakan perjalanan haji. Kondisi perekonomian masyarakat menjadi bagian penting tentang sebenarnya darimana pembiayaan untuk pelaksanaan ibdah haji ini diperoleh. Selain kodisi perekonomian umum dalam masyarakat pengaruh-pengaruh tingkat pelaksanaan ibadah haji ditentukan pula oleh pertubuhan penduduk, proses islamisasi di Nusantara, perhubungan dan sarana transportasi yang baik antara Nusantara dengan Hijaz, keadaan-keadaan eksehatan, meningkatnya keamanan, serta penyebab non-manusia seperti adanya pekasnaan haji akbar.
Predikat dan penyebutan Haji menjadi sangat menentukan dan dari sisi sosio-ekonomi merupakan prestige yang dibanggakan oleh masyarakat. Mereka yang telah melaksanakan ibadah haji akan dianggap sebagai orang yang terpilih dan mulia, baik dari segi kedalaman pengetahuan agama maupun sisi kekayaannya.
Pergi menunaikan ibadah haji merupakan perjalanan spiritual dambaan setiap muslim untuk menyempurnakan rukun Islam. Tak setiap muslim memiliki kesempatan tersebut. Meskipun mereka sudah “mampu” secara materi, tidak lantas orang tersebut dapat menunaikan ibadah haji hingga memperoleh haji yang mabrur. Di samping itu pergi haji juga merupakan upaya peningkatan kadar keimanan seorang sebab mereka yang pergi haji diharapkan kualitas keimanannya meningkat atau naik. Oleh karena itu pergi haji kerap dikatakan naik haji.
Namun, pada prakteknya naik haji rupanya tidak selalu menaikkan kualitas seseorang. Ada saja orang yang sudah ‘berpangkat’ haji tetapi kelakuannya tak ubahnya seperti orang awam. Bahkan, semakin tak karuan alias hancur. Di sini tampak bahwa haji bukanlah sekedar ‘pangkat’ atau titel seperti layaknya gelar kehormatan atau titel sarjana yang bisa diperjualbelikan. Orang bisa saja membeli gelar sarjana hingga bertumpuk-tumpuk lalu diletakkan di depan atau di belakang nama mereka. Namun, belum pernah kita dengar orang membeli gelar haji, kecuali pada awal abad ke-20 (dikenal dengan “haji Singapura”). Mungkin saja kelak ada yang melakukannya. Hanya waktu yang mampu menjawab
Menurut catatan sejarah, pada abad ke-17 dan 18 sudah ada jemaah haji dari Nusantara. Tentunya ketika itu perjalanan menuju Mekkah tidak sekedar ritual belaka melainkan perjalanan menantang maut karena sarana transportasi yang digunakan yaitu masih kapal layar. Perjalanan pun dilakukan jauh-jauh sebelumnya, bahkan jika perlu para calon haji bermukim setahun sebelum musim haji tiba. Di Mekkah mereka berguru pada ‘guru-guru’ terkenal dari tanah kelahiran nabi.
Ada pula kebijakan pemerintah kolonial terhadap para haji di Hindia Belanda pada masa kolonial. Ordonansi itu tercantum dalam Staatsblad voor Nederlandsch-Indië tahun 1859 No 42. Salah satu isi peraturan itu adalah sekembali dari ibadah haji, seseorang harus mengikuti ujian haji dan harus membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah mengunjungi Mekkah. Ujian itu dilakukan oleh bupati dan kyai yang ditunjuk. Bila seseorang lulus, maka ia berhak menyandang gelar haji dan mengenakan busana haji khusus. Sebaliknya, bila gagal tapi ia nekad mengaku-aku dirinya haji dan mengenakan pakaian haji, maka ia didenda 25 hingga 100 gulden. Kebijakan tersebut dikecam oleh Snouck Hurgronje, seorang orientalis dan ahli Islam. Baru pada awal abad ke-20 kebijakan ini dihapus
Image yang terbentuk tersebut tidak dapat dilepaskan dari proses perjalanan dan perkembangan ibadah haji dari masa ke masa. Pelaksanaan perjalanan ibadah haji selalu mengalami perubahan. Tulisan ini tidak akan membahas bagaimana ritualisasi maupun seremonial serta keyakinan masyarakat untuk melaksanakan ibadah haji. Dalam pelaksanaan ibadah haji bagi umat Islam di Indonesia, perjalanan maupun pelayanan dalam perjalanan menjadi faktor yang penting dalam rangka kelancaran ibadah haji. Dalam kerangka inilah tulisan ini mencoba memaparkan dan menarasikan bagaimana perubahan-perubahan yang terjadi dalam rangka perjalanan ibadah haji pada masa kolonial. Temporal ini menarik karena ternyata pelaksanaan perjalanan haji ternyata telah menjadi urusan pemerintah Kolonial.
Setidaknya ada 3 (tiga) hal pokok terkait dengan perjalanan haji pada masa kolonial. Kajian ini menempatkan pelaku-pelaku yang terkait dalam proses pelaksanaan perjalanan haji masa kolonial, dimana sebagai subyek utama adalah calon jemaah haji, yang kemudian berhubungan dengan pemerintah sebagai pemilik otoritas serta pihak pelayaran maupun agen-agen haji. Yang kedua adalah pelayanan yang diterima oleh jemaah haji selama dalam perjalanan serta hambatan-hambatan yang terjadi. Serta yang ketiga adalah bagaimana proses perjalanan yang terjadi sejak pemberangkatan sampai Makkah dan juga sekembalinya dari menunikan ibadah haji.
Subyek: Calon Jamaah Haji, Pemerintah, Agen Haji, dan Pelayaran
Masuknya agama Islam yang dibarengi dengan islamisasi Nusantara menjadi bagian kajian paling dominan pada abad-abad XVI-XVIII Masehi, meskipun secara umum jauh sebelum abad tersebut Islam sudah mulai masuk ke Nusantara. Setidaknya pada permulaan abad XVI telah dijumpai pribumi Nusantara yang ada di Makah, kemungkinan besar mereka adalah pedagang yang datang dengan kapalnya sendiri. Jamaah Haji yang dijumpai ole Louis Barthem di Makah tahun 1503 barangkali adalah orang-orang Nusantara periode awal yang melaksanakan ibadah haji di Makah. Namun demikian mungkin mereka bukan secara sengaja melakukan niat perjalanan ibadah haji dari Nusantara, akan tetapi mereka adalah pedagang yang berlabuh di Jeddah dan berkesempatan berkunjung di Makkah.
Berita selanjutnya menyebutkan bahwa Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang sebelum menunaikan ibadah haji bernama Nurullah berangkat ke Makkah setelah Pasai sebagai kota kelahirannya ditaklukan oleh Portugistahun 1521. Ia berada di Makkah kurang lebih selama 3 (tiga) tahun. Sekembalinya dari Makkah ia berangkat ke Demak untuk bersama penguasa setempat menyerang kerajaan Hindu-Budha Pajajaran dan merebut pelabuhan utamanya Sunda Kelapa.
Sampai pertengahan abad XIX berdasarkan catatan resmi pemerintah belum terjadi peningkatan jumlah berarti penduduk Nusnatara yang melaksanakan ibadah haji. Meskipun secara sporadis pelaksanaan dan perjalanan ibadah haji telah ada pada masa-masa kejayaan kerajaan-kerajaan Islam baik dari Jawa, Sumatera, Makasar, Banjarmaisn maupun Ternate-Tidore, setidaknya ibadah haji masih belum menjadi ibadah massal. Ibadah ini berlaku sebatas pada kalangan ulama-ulama yang berniat memperdalam ilmu tentang Islam di Makkah. Fase-fase awal islamisasi inilah sebenarnya yang mengawali perjalanan haji ke tanah suci Makkah sebagai tujuan ganda, selain melaksanakan ibadah haji juga untuk pemantapan keilmuan. Maka tidak salah apabila Azyumardi Azra melihat akibat yang terjadi dari proses ini adalah adanya relasi atau jaringan para ulama Nusantara dengan Timur Tengah maupun antar ulama dari Nusantara.
Belum signifikannya pelaksanaan haji pada fase-fase awal perkembangan Islam ini disebabkan karena adanya penetrasi VOC terhadap daerah-daerah di Nusantara yang menjadi pusat-pusat perdagangan. Karena sebagian besar pusat-pusat perdagangan penting dikuasai oleh kesultanan dan kerajaan Islam. Namun demikian, sepanjang abad XVIII perjalanan haji dilakukan secara sporadis oleh umat Islam.
Lebih jauh Saleh Putuhena dalam bukunya Hisotoriografi Haji Indonesia (2007: 126-7) Perjalanan haji mulai menjadi urusan pemerintah ketika tahun 1825 kurang lebih 200 orang dari Residen Bataia dan beberapa dari daerah lainnya menghadap polisi dengan maksud meminta pas jalan sekaligus melaporkan perjalanan ibadah haji ke Makkah dengan menggunakan kapal Maghbar milik Syaikh Umar Bugis. Sehingga mulai tahun tersebut perjalanan haji dikelola oleh para Syaikh dengan melaporkan dan meminta pas perjalanan kepada residen setempat.
Sesudah pertengahan abad XIX jamaah haji Nusantara mengalami perkembangan pesat. Sebagai catatan bahwa, sebelum tahun 1861 catatan tentang jumlah jamaah tidak dicatat tiap tahun. Sejak adanya catatan tahunan umlah jamaah haji terbanyak terjadi pada tahun 1896 sebanyak 11.909 orang dan tercatat paling sedikit tahun 1865 yakni 1.901 orang. Yang menarik dari catatan ini adalah bahwa laporan pemerintah (Kolonial Verslag) sejak tahun 1861-1875 jumlah jamaah haji hanya disebutkan dari Jawa dan Madura, sedangkan dari luar Jawa dan Madura sudah disebutkan berdasarkan daerah pemerintahan. Baru tahun 1876, jumlah jamaah haji sudah diperinci berdasarkan daerah pemerintahan. Daerah-daerah yang memiliki catatan jamaah haji paling banyak berasal dari Priangan, Surabaya, Banten, Sumatera Pantai Barat dan Palembang.
Beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan jumlah jamaah haji menurut Saleh Putuhena (2007: 129-30) ada lima faktor pertama makin banyaknya masyarakat muslim yang memahami bahwa kedudukan ibadah haji dalam Islam sebagai kewajiban, meningkatnya keinginan untuk menuntut ilmu di Haramain (Makkah), ketiga makin mudah dan teraturnya perjalanan haji pada abad XIX terutama setelah dibukanya terusan Suez tahun 1870 karena perjalanan menjadi lebih cepat, keempat syaik atau agen haji makin kuat mempropagandakan haji. Mereke mendapat keuntungan secara ekonomi karena pemberangkatan haji menggunakan kapal agen tersebut, bahkan mereka mau memberikan pinjaman untuk finansial beribadah haji, dan kelima para bupati juga diperkenankan untuk melakukan kampanye dan propaganda bagi masyarakatnya untuk ibadah haji karena pemerintah tidak melarang.
Pegelolaan Haji
Pemerintah Hindia Belanda menangani pengelolaan haji karena jamaah haji berasal dari tanah jajahan Belanda. Pengelolaan dan pengaturan ibadah haji ini daitur oleh Minister van Kolonie (Menteri Penjajahan) dan Minister van Buitenlandsche Zaken (Menteri Luar Negeri). Pengelolaan oleh kedua departemen tersebut berupa penentuan kebijakan tentang haji serta mengkoordinasikan dan menyelesaikan permasalahan haji dengan pemerintah terkait semisal Turki, Arab Hasyimiah dan Arab Saudiah. Maka dibuka pula konsulat Belanda di Jeddah untuk mengkoordinasi Jamaah Haji yang resmi dibuka tahun 1872 meskipun konsulat Belanda sudah ada di Jeddah sejak tahun 1859. (Staadblads tahun 1859 no 42)
Berdasarkan Staadblads Tahun 1925 no 110, tugas umum konsulat adalah membantu kapal pengangkutan milik Bleanda dan memmerhatikan kepntingan waega negara Belanda dan turut bertanggung jawab atas hasil keputusan lembaga pembuat hukum. Terkait dengan haji, maka konsulat berkenaan dengan kepentingan kapal pengangkut jamaah haji, kepntingan jamaah haji sebagai warga negara Belanda. Dimana secara spesifik tugas Konsulat di Jeddah ; menerima dan menyimpan daftar jamaah haji, membuat daftar kedatangan dan pemberangkatan kapal haji, memberikan keterangan haji bagi kapal pengangkut haji, memberikan visa bagi pasport haji, mengeluarkan pasport baru bagi jamaah yang berangkat dari Singapura, menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh jamaah, mengawasi ideologi dan orang-orang tertentu, dan membuat laporan haji setiap musim haji.
Pengelolaan yang berkaitan secara langsung terhadap jamaah berupa pemberian dokumen pas jalan oleh pejabat berwenang. Pemberian pas jalan dan pejabat yang berwenang mengeluarkannya diatur dalam aturan pemerintah (Staadblad) tahun 1859, disempurnakan tahun 1902 dan 1909, untuk luar Jawa diatur dalam Staadblads tahun 1923. Dalam pas jalan tersebut dicatat identitas jamaah haji dan yang berwenang mengeluarkannya adalah kepala-kepala daerah (Asisten Residen). Sementara mulai tahun 1927 di Jawa dan Madura sudah mulai ditangani oleh Kepala Pemerintahan Setempat yaitu wedana dan asisten wedana (merupakan pejabat pribumi. Sedangkan luar Jawa tetap dipegang oleh pejabat Belanda.
Pas jalan ibadah haji model tahun 1894 tidak hanya menyebutkan jenis kelamin, prakiraan umur dan tinggi badan saja, melainkan juga memberikan keterangan tentang bentuk hidung, mulut, dagu, dan apakah berkumis atau tidak, berjenggot dan keterangan fisik yang menonjol lainnya. Ini merupakan bentuk-bentuk pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap jamaah haji Nusantara.
Syaik sebagai agen Haji: Kepentingan Ekonomi dan Keagamaan
Orang-orang yang mengurusi kepentingan dan menuntun manasik haji disebut syaikh haji. Biasanya yang mengelola jamaah haji Hindia Belanda (Nusantara) juga berasal dari Nusantara. Mereka menyiapkan penginapan, membawa jamaah berziarah, melaksanakan kewajiban beragama, serta membacakan doa. Untuk menjadi syaikh haji harus mendapat izin dari pihak berwenang di Makkah. Setidaknya pada tahun 1880, jamaah haji dari Nusantara dipegang oleh 180 syaikh, dan jumlahnya meningkat ketika akan terjadi Perang Dunia I menjadi 400 syaikh. Para syaikh haji ini berkedudukan di Singapura dan di daerah-daerah Nusantara.
Singapura menjadi rute penting bagi perjalanan Nusantara-Arab. Sehingga tidak salah tempat ini dijadikan sebagai pelabuhan embarkasi penting bagi jamaah haji dimana mereka ada yang bekerja untuk syaikh yang ada di Makkah dan ada juga yang bekerja untuk sendiri. Sementara para syaikh yang ada di Nusantara tersebar di kota-kota besar khususnya yang disebut bandar haji seperti Makasar, Surabaya, Batavia, Palembang, Sabang, dan Teluk Bayur.
Para syaikh haji yang ada di Nusantara ini bekerja untuk seorang syaikh Makkah, dan mereka juga memiliki hubungan-hubungan berpengaruh terutama dengan pedalaman seperti kyai, naib, penghulu, dan ustad. Syaikh haji ini juga memunyai hubungan dengan perusahaan pelayaran karena mereka akan mendapatkan jasa darinya. Sehingga boleh dikatakan menjadi perantara antara jamaah haji dengan perusahaan pelayaran maupun dengan syaikh di Makkah. Akibat dari kondisi inilah kedudukan Syaikh Haji menjadi sangat penting baik bagi proses ritual ibadah haji sekaligus bagi ekonomi.
Mereka dapat mengeruk keuntungan dari usaha yang dilakukan dalam rangka memperlancar perjalanan dan ibadah haji. Segala kebutuhan jamaah haji telah ditetapkan oleh para syaikh haji tersebut dari bagaimana transportasi, penginapan, maupun tuntunan ibadah haji yang dilakukan. Maka tidak heran, propaganda dari para syaikh ini sebenarnya berpengaruh juga pada jumlah jamaah haji. Pengerahan jamaah haji yang dilakukan oleh para syaikh akan memberikan keuntungan ekonomi bagi para syaikh haji tersebut. Jadi dapat dikatakan adanya mata rantai kegiatan haji tidak terlepas dari penguasa Makkah – agen pelayaran – syaikh haji – kepala rombongan – calon jamaah haji.
Bagaimana Calon Haji Membiayai Ibadahnya?
Pelaksanaan ibadah haji bagi calon jamaah membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan harus dipersiapkan sebelumnya. Inilah sebenarnya kenapa ibadah haji merupakan ibadah yang paling mahal terutama bagi umat Islam di Nusantara. Ini juga yang menyebabkan ada tambahan syarat bagi mereka yang akan melaksanakan rukun Islam kelima yaitu berhaji bagi yang mampu. Yang mampu disini diterjemahkan mampu dalam hal materi, fisik maupun mental, karena perjalanan memerlukan biaya mahal, serta tenaga yang kuat untuk menempuh perjalanan berhari-hari di atas kapal.
Setidaknya sampai akhir abad XIX belum ditetapkan secara khusus jumlah biaya minimal yang harus dikeluarkan oleh calon jamaah haji. Pada periode sebelumnya, mereka yang melakukan perjalanan untuk ibadah haji tidak mempersiapkan biaya tertentu. Mereka berangkat dengan upaya sendiri menumpang pada perahu dagang. Baru setelah adanya pengelolaan dan manajemen khusus barulah ditentukan jumlah biaya minimal yang harus dikeluarkan seorang calon jamaah haji.
Tahun 1895 Konsulat Belanda di Jeddah menghitung biaya yang dikeluarkan oleh seorang jamaah haji sebanyak f282,99 dengan tiket pulang pergi dan f322,99 yang membeli tiket sekali jalan. Kemudian biaya tersbeut naik menjadi f 698,70 pada tahun 1924. Dimana biaya tersbeut dkeluarkan untuk membiayai keperluan yang harus dimiliki baik di dalam maupun luar negeri seperti pengurusan pasport, perjalanan ke pelabuhan embarkasi, tiket kapal haji, biaya upacara pemberangkatan, biaya karantina, sewa unta, sewa penginapan di Makkah, ziarah ke Madinah, konsumsi di Makkah selama 5 bulan. Jamaah haji juga masih harus membawa bekal dalam bentuk barang atau natura terutama bahan makanan dan keperluan lainnya. Bekal ini disimpan dalam peti khusus di kapal.
Biaya-biaya tersebut biasanya diperoleh dari berbagai cara. Beberapa cara pembiayaan yang dilakukan oleh calom jamaah haji dapat melalui tabungan, sumber-sumber tunai, pinjaman, pekerjaan yang diupah, dan melalui hasil perdagangan. Bagi calon jamaah yang sudah mempersiapkan untuk ibadah haji ini jauh-jauh hari maka sumber pembiayaan adalah berdasarkan hasil usaha melalui pekerjaan-pekerjaan yang diupah bagi mereka maupun dari hasil perdagangan yang kemudian ditabung.
Jamaah haji dari Jawa, Sumatera dan Kalimantan pada umumnya memperoleh biaya perjalanan dari hasil penjualan hasil pertanian dan perkebunan. Berdasarkan laporan haji yang dibuat Konsul Belanda di Jeddah, ternyata jamaah haji umumnya berasal dari daerah-daerah pertanian dan perkebunan.(Putuhena,2007:161) disamping diperoleh dari usaha penjualan hasil pertanian dan perkebunan, tenyata pembiayaan juga berasal dari hasil upah kerja. Ini terjadi terutama bagi mereka yang bekerja pada perkebunan kepala sawit di Semenanjung Malaya. Adapula mereka yang sengaja datang ke Sumatera atau Singapura untuk bekerja di perkebunan sebagai bekal biaya melaksanakan ibadah haji. Cara yang paling klasik dalam pembiayaan ibadah haji adalah dengan penjualan barang-barang yang dibawa oleh jamaah. Selain memperdagangkan barang dagangan mereka juga memperdagangkan mata uang asing (valas).
Pembiayaan yang paling aneh menurut kacamata sekarang adalah bahwa ternyata ibadah haji dibiayai melalui pinjaman. Pinjaman ini tentunya dengan jaminan tertentu . Pembiayaan melalui jalur ini sebenrya merupakan salah satu bentuk dari propaganda yang dilakukan oleh para syaikh haji, seperti yang terjadi di Jawa Barat dimana mereka menjaminkan harta benda yang merupakan nafkah utama untuk meminjam uang sebagai biaya perjalanan haji. Sehingga banyak orang tertarik untuk melakukan ibadah haji karena mendapatkan pinjaman uang dari agen-agen haji.
Kuatnya jaringan Islam di pedalaman seiring perkembangan budidaya perkebunan serta perkembangan ekonomi keuangan dengan adanya pemanfaatan tanah sebagai lahab penarik keuntungan. Akibat belum adanya lembaga perkreditan, para haji sebagai tuan tanah bersama-sama dengan orang Cina memegang monopoli peminjaman uang dengan riba. Peminjaman inilah yang digunakan oleh calon jamaah haji sebagai pembiayaan.
Perjalanan Menuju Tanah Suci
Kalau sekarang perjalanan pemberangkatan jamaah Haji hanya beberapa jam saja dari Indonesia dengan menggunakan pesawat terbang, berbeda halnya ketika Nusantara masih berada dalam jajahan Belanda. Mereka harus berangkat jauh hari bahkan beberapa bulan sebelum musim haji tiba. Ini sebagai konsekuensi akibat jarak Nusantara dengan tanah Makkah.
Jamaah haji yang akan berangkat ke Jeddah diharuskan menggunakan kapal uap terutama dengan menggunakan pelayaran Belanda terutama perusahaan Rotterdamsche Lloyd, Blue Funnel Line, dan Nederland. Mereka hanya diizinkan naik kapal melalui pelabuhan-pelabuhan yang sudah ditentukan yang disebut embarkasi haji. Pada tahun 1898 hanya Batavia dan Padang saja yang ditunjuk menjadi embarkasi, kemudian disusul Surabaya, Makasar, Palembang, dan Sabang tahun 1922 serta Belawan Deli tahun 1927.
Namun apabila jamaah haji tidak akan menggunakan kapal-kapal Eropa, mereka dapat naik melalui embarkasi Singapura. Mereka dapat dengan bebas memilih menggunakan kapal-kapal terutama yang dikelola oleh para Syaikh Haji. Dalam satu kasus apabila jamaah haji berniat berangkat dari embarkasi Singapura namun mereka kekurangan uang maka dapat memperoleh pinjaman dari para Syaikh haji, atau mereka langsung pulang ke tempat asalnya dan menyandang Haji Singapura.
Keberangkatan dari tempat tinggal biasanya dengan upacara pemberangkatan dan penuh dengan karamaian. Penduduk berbondong-bondong mengantarkan jamaah menuju temat pemberangkatan. Kemudian jamaah haji akan meneruska perjalanan yang berat bersama rombongan haji lainnya di kapal.
Perjalanan dengan menggunakan kapal khusus pengangkut jamaah haji dari Nusantara dimulai tahun 1825. Kapal yang digunakan merupakan milik Syaikh Umar Bugis. Sejak tahun tersbeut pengangkutan jamaah haji dilakukan dengan menggunakan kapal milik seorang Syaikh haji. Setelah mengetahui peningkatan jumlah penumpang haji maka perusahaan pelayaran Inggris mulai pertengahan abad XIX memasuki bisnis tersebut. Jika seblum tahun 1858 masih digunakan kapal layar, makal setelah tahun tersebut telah digunakan kapal uap. Setelah pembukaan Konsulat Belanda di Jeddah tahun 1872, Belanda turut pula dalam usaha pengangkutan jamaah haji Nusantara.
Perjalanan dengan menggunakan kapal khusus pengangkut jamaah haji biasanya sekitar bulan Jummadil Awwal sampai bulan Sya’ban. Ini sekitar 2 sampai 3 bulan sebelum musim haji. Jamaah haji umumnya menempati dek yang diperuntukkan bagi penumpang dengan kategori kelas rendah. Sedangkan jamaah haji dengan kelas tinggi menempati kamar dalam kapal. Kapal pengngkut jamaah haji ini juga memuat komoditi untuk perdagangan Eropa setelah menurunkan penumpang di Jeddah.(Putuhena, 2007,180). Setelah sampai di Laut Merah, para jamaah dikarantina untuk menghindari penularan penyakit menular selama 3 sampai 5 hari. Baru kemudian menju ke Jeddah untuk langsung melakukan ritual ibadah haji.
Setelah melaksanakan ibadah haji, jamaah akan menghadapi kesulitan baru bagi mereka yang datang tanpa persiapan biaya yang cukup. Namun apabila telah membeli tiket pergi pulang maka kendala ini tidak jadi masalah. Ketika menjadi masalah adalah pada saat mereka sudah tidak punya biaya untuk perjalanan pulang. Rata-rata mereka akan tinggal sementara di Makkah sambil mencari ilmu atau mengumpulkan biaya untuk pulang. Dari sinilah kemudian muncul istilah mukimin. Jamaah yang tinggal baik untuk mencari ilmu maupun kegiatan berdagang disebut mukimin.